Kuasa Hukum Eks Walikota Tual Bakal Ajukan Abolisi ke Presiden Prabowo
IMG-20250813-WA0002

AMBON,Nunusaku.id,- Pekan kemarin Majelis Hakim Agung akhirnya menjatuhkan putusan Kasasi terhadap Terdakwa, Adam Rahayaan mantan Walikota Tual dengan pidana 7 tahun penjara.

Putusan Kasasi tersebut dibacakan dalam persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Agung, Dwiarso Budi Santiarto didampingi Hakim Anggota Dr. Agustinus Purnomo Hadi dan Dr. H. Achmad Setyo Pudjoharsoyo.

Dalam amar tersebut, Majelis Hakim Agung menyatakan menolak permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi I/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Maluku Tenggara (Malra).

Hal itu diungkap kuasa hukum Terdakwa, S. Hamid Fakaubun, SH.,MH kepada media ini via seluler, Rabu (13/8/25).

“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II/Terdakwa Adam Rahayaan tersebut; Memperbaiki Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Ambon nomor 24/PID.SUS-TPK/2024/PT AMB tanggal 20 November 2024 yang mengubah Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Ambon nomor 26/Pid.Sus-TPK/2024/PN Amb tanggal 7 Oktober 2024 tersebut mengenai pidana yang dijatuhkan dan tanpa dikenakan uang pengganti kepada Terdakwa, menjadi pidana penjara selama 7 tahun,” ujar Fakaubun mengutip amar putusan.

Selain itu kata Fakaubun, mantan Walikota Tual itu juga dihukum dengan pidana denda sebesar Rp 400.000.000 dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.

Menanggapi putusan Kasasi itu, tim hukum akuinya, akan menempuh langkah konstitusional yakni mengajukan permohonan Abolisi kepada Presiden RI Prabowo Subianto.

Abolisi sendiri diatur dalam pasal 14 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945.  Langkah ini sengaja ditempuh sebab ada kesamaan antara kasus Tom Lembong dengan kliennya, Adam Rahayaan.

Kesamaan itu dicontohkan Fakaubun misalnya dalam kasus Tom Lembong, Jaksa tidak mampu membutikan baik secara fisik dokumen maupun saksi dan ahli yang dihadirkan di persidangan untuk menerangkan rincian kerugian negara akibat kebijakan yang dilakukan Tom. Kemudian berapa keuntungan yang diperoleh secara langsung akibat perbuatan tersebut.

Sama halnya dengan kasus kliennya, Adam Rahayaan. Selama proses persidangan berlangsung di Pengadilan Negeri Ambon, kuasa hukum mempermalukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di dalam persidangan.

Pasalnya mulai dari saksi-saksi yang dihadirkan, barang bukti yang ditunjukan termasuk dokumen temuan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai dasar mengkriminalisasi kliennya, hingga puncaknya dalam menyusun dakwaan sangat tidak logis dan tidak sesuai fakta hukum.

“Mereka menyusun nya secara membabi buta tanpa memilki dasar hukum yang jelas,” bebernya.

Karena itu diakuinya, langkah untuk mengajukan abolisi ini karena dalil dan argumentasi hukumnya adalah putusan MA yang memperbaiki putusan PT Ambon, kliennya tak dibebankan uang membayar biaya ganti kerugian sebagaimana putusan PT Ambon yang menghendaki terpidana Adam Rahayaan dihukum membayar uang pengganti sejumlah Rp. 1.8 Miliar.

Bahwa demikian berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim Agung tentang judex facti dalam penjatuhan pidana tambahan berupa uang pengganti terhadap terdakwa kliennya sangat tidak tepat.

Oleh karena berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan terdakwa tidak ada memperoleh/menikmati kerugian keuangan negara tersebut, sehingga beralasan hukum terhadap Terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana tambahan uang pengganti.

“Karena pertimbangan itulah yang menjadi dasar argumentasi kami untuk mengajukan permohonan abolisi kepada yang terhormat Presiden Republik Indonesia Bpk. Prabowo Subianto,” urai Fakaubun.

Ditambahkan, jika dasar pertimbangan hakim menjatuhkan pidana terhadap kliennya, kata Fakaubun, adalah karena negara mengalami kerugian. Padahal kebijakan yang diambilnya adalah untuk mendistribusikan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) demi memberi makan warga.

Maka ini membuka ruang argumentasi abolisi yang kuat, dengan menekankan bahwa: kebijakan yang dilaksanakan terdakwa Adam Rahayaan adalah perbuatan administratif atau kebijakan diskresi, bukan tindak pidana korupsi, dan dilakukan dalam rangka memenuhi hak dasar warga negara, yaitu hak atas pangan.

Argumentasi Hukum dan Fakta

Pertama, Diskresi Pemerintahan (Kebijakan untuk Kepentingan Rakyat) UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan: Pasal 22 ayat (1): “Pejabat Pemerintahan dapat menggunakan diskresi dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan tertentu dalam hal peraturan perundang-undangan tidak memberikan pilihan, tidak lengkap, atau tidak jelas”.

“Maka, tindakan klien kami mendistribusikan CBP dalam keadaan darurat pangan atau mendesak, merupakan bentuk diskresi, bukan perbuatan melawan hukum pidana,” tegasnya.

Kedua; tujuan tidak untuk memperkaya diri. Bahwa tidak ada bukti Adam Rahayaan memperoleh keuntungan langsung secara pribadi dari kebijakan tersebut.

Ini penting karena sesuai unsur delik Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, jika tidak ada niat memperkaya diri atau orang lain secara melawan hukum, maka pemidanaan menjadi lemah secara substansi kemudian ini juga di dukung dengan keterangan-keterangan dan fakta-fakta persidangan.

Ketiga, manfaat sosial dari kebijakan tersebut. Bahwa kebijakan yang dilakukan Adam Rahayaan justru menguntungkan masyarakat luas.

“Bahkan seorang saksi hingga ahli yang dihadirkan Jaksa sendiri di persidangan mengatakan kebijakan yang diambil pa Adam Rahayaan waktu itu adalah tindakan mulia, yakni memberikan bantuan pangan kepada warga yang membutuhkan,” tukas Fakaubun.

Lebih lanjut tambah Fakaubun, kerugian keuangan negara yang timbul dalam perkara tersebut bukan akibat niat jahat dan tidak dilakukan secara langsung oleh kliennya selaku pengambil kebijakan.

“Mengapa demikian?, Pertama kerugian negara akibat dugaan maladministratif, bukan kriminal. Kerugian negara yang timbul bukan karena korupsi, melainkan karena kesalahan administratif atau prosedural yang tidak disengaja,” ungkapnya.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 menyatakan bahwa “Setiap penyimpangan prosedur tidak selalu berarti perbuatan korupsi jika tidak ada niat jahat (mens rea).”

Kedua soal, asas Ultimum Remedium. Dimana hukum pidana seharusnya menjadi jalan terakhir (ultimum remedium). Dalam kasus ini, sanksi administratif atau tanggungjawab jabatan seharusnya cukup, bukan pidana penjara 8 tahun.

Ini juga dikuatkan dengan argumentasi hukum dari salah satu ahli hukum Administarsi Negara yang dihadirkan tim kuasa hukum di persidangan yakni Prof. S.E.M. Nirahua, SH,M.Hum.

Selain itu dari aspek kemanusiaan dan kepentingan umum, kliennya akui Fakaubun, telah mengabdi sebagai kepala daerah dengan integritas. Tidak memperkaya diri sendiri yakni bertindak untuk menyelamatkan rakyat dari kelaparan, yang selaras dengan Pasal 28C UUD 1945 (hak atas pangan dan kehidupan layak).

Permintaan Abolisi ke Presiden

Berdasarkan seluruh alasan diatas, permohonan abolisi diajukan kuasa hukum kepada Presiden Republik Indonesia, karena menurut Fakaubun, Presiden memiliki hak prerogatif abolisi berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UUD 1945.

Permohonan dilakukan demi: keadilan substantif, pemulihan kepercayaan publik terhadap hukum, keadilan bagi untuk semua rakyat Indonesia dan demi kepentingan kemanusiaan serta kesataraan dan kesamaan di depan hukum.

“Kami pun berkesimpulan permohonan abolisi dapat didasarkan pada argumen bahwa tindakan klien kami tidak pantas dikualifikasi sebagai tindak pidana, karena dilakukan untuk kemaslahatan rakyat, tidak bertujuan memperkaya diri, serta kerugian negara terjadi bukan karena kejahatan, melainkan karena niat baik yang tidak sejalan dengan prosedur administratif,” pungkasnya. (NS)

Views: 61
Facebook
WhatsApp
Email