Mantan Walikota Tual Divonis MA 7 Tahun Penjara, Pengacara Ajukan Abolisi
IMG-20250804-WA0070

AMBON,Nunusaku.id,- Mantan Walikota Tual yang adalah terdakwa kasus CBP, Adam Rahayaan divonis dengan pidana 7 tahun penjara oleh Majelis Hakim Agung (MA) saat di tingkat Kasasi.

Putusan Kasasi tersebut dibacakan dalam persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Agung, Dwiarso Budi Santiarto didampingi Hakim Anggota Dr. Agustinus Purnomo Hadi dan Dr. H. Achmad Setyo Pudjoharsoyo.

Kuasa Hukum Terdakwa John Berhitu mengaku, dalam amar tersebut Majelis Hakim Agung menyatakan menolak permohonan kasasi dari pemohon Kasasi I/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Maluku Tenggara (Malra).

“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II/Terdakwa Adam Rahayaan tersebut; Memperbaiki Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Ambon Nomor 24/PID.SUS-TPK/2024/PT AMB tanggal 20 November 2024 yang mengubah Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Ambon Nomor 26/Pid.Sus-TPK/2024/PN Amb tanggal 7 Oktober 2024 tersebut mengenai pidana yang dijatuhkan dan tanpa dikenakan uang pengganti kepada Terdakwa, menjadi pidana penjara selama 7 tahun,” ucapnya.

Selain itu mantan Walikota Tual itu juga dihukum dengan pidana denda sebesar Rp 400.000.000 dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.

Terkait putusan Kasasi itu, Berhitu mengaku pihaknya akan mengajukan permohonan Abolisi kepada Presiden RI Prabowo Subianto bagi terpidana Adam Rahayaan.

Abolisi yang bakal dilayangkan akuinya, sebab dalam putusan MA yang memperbaiki putusan PT Ambon kliennya tak dibebankan uang pendants sebagaimana putusan PT Ambon yang menghendaki Terpidana Adam Rahayaan dihukum membayar uang pengganti sejumlah Rp. 1.8 Miliar.

Bahwa demikian berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim Agung tentang judex facti dalam penjatuhan pidana tambahan berupa uang pengganti terhadap Terdakwa (adam Rahayaan-red) tidak tepat, oleh karena berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan Terdakwa tidak ada memperoleh/menikmati kerugian keuangan Negara tersebut, sehingga beralasan hukum terhadap Terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana tambahan uang pengganti.

“Pertimbangan itulah yang menjadi dasar kami untuk mengajukan permohonan Abolisi ke Presiden Prabowo Subianto,” jelas Berhitu.

Ditambahkan, jika dasar pertimbangan hakim menjatuhkan pidana terhadap Adam Rahayaan kata Berhitu adalah karena negara mengalami kerugian.

Padahal kebijakan yang diambilnya adalah untuk mendistribusikan CBP demi memberi makan warga, maka ini membuka ruang argumentasi abolisi yang kuat, dengan menekankan bahwa: Kebijakan yang dilaksanakan Adam Rahayaan adalah perbuatan administratif atau kebijakan diskresi, bukan tindak pidana korupsi, dan dilakukan dalam rangka memenuhi hak dasar warga negara, yaitu hak atas pangan.

*Argumentasi hukum dan fakta*

“Pertama Diskresi Pemerintahan (Kebijakan untuk Kepentingan Rakyat) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan:Pasal 22 ayat (1): “Pejabat Pemerintahan dapat menggunakan diskresi dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan tertentu dalam hal peraturan perundang-undangan tidak memberikan pilihan, tidak lengkap, atau tidak jelas”.

Maka, tindakan Adam Rahayaan mendistribusikan CBP dalam keadaan darurat pangan atau mendesak, merupakan bentuk diskresi, bukan perbuatan melawan hukum pidana.

Kedua, Tujuan Tidak untuk Memperkaya Diri.

Tidak ada bukti bahwa Adam Rahayaan memperoleh keuntungan pribadi dari kebijakan tersebut. Ini penting karena sesuai unsur delik Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, jika tidak ada niat memperkaya diri atau orang lain secara melawan hukum, maka pemidanaan menjadi lemah secara substansi.

Ketiga, Manfaat Sosial.

Dari kebijakan tersebut (CBP-red) maka kebijakan justru menguntungkan masyarakat luas, yakni memberikan bantuan pangan kepada warga yang membutuhkan.

Senada, Jack Wenno yang juga kuasa terdakwa Adam Rahayaan menambahkan, kerugian negara yang timbul dalam perkara tersebut Bukan Akibat Niat Jahat

“Mengapa demikian?, pertama Kerugian Negara Akibat Administratif, Bukan Kriminal, Kerugian negara yang timbul bukan karena korupsi, melainkan karena kesalahan administratif atau prosedural yang tidak disengaja.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 menyatakan bahwa “Setiap penyimpangan prosedur tidak selalu berarti perbuatan korupsi jika tidak ada niat jahat (mens rea).”

Kedua soal, Asas Ultimum Remedium dimana Hukum pidana seharusnya menjadi jalan terakhir (ultimum remedium). “Dalam kasus ini, sanksi administratif atau tanggungjawab jabatan seharusnya cukup, bukan pidana penjara 8 tahun,” tandas Wenno.

Selain itu dari sisi aspek kemanusiaan dan kepentingan umum, Adam Rahayaan telah mengabdi sebagai kepala daerah dengan integritas.

Tidak memperkaya diri sendiri yakni bertindak untuk menyelamatkan rakyat dari kelaparan, yang selaras dengan Pasal 28C UUD 1945 (hak atas pangan dan kehidupan layak).

Demikian maka pelaksanaan pidana justru akan merugikan masyarakat yang dulu dilayaninya.

*Permintaan Abolisi Kepada Presiden*

Berdasarkan seluruh alasan di atas, permohonan diajukan kepada Presiden Republik Indonesia, karena: Presiden memiliki hak prerogatif abolisi berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UUD 1945.

Permohonan dilakukan demi: Keadilan substantif, Pemulihan kepercayaan publik terhadap hukum, Kepentingan kemanusiaan.

Dengan demikian kami berkesimpulan: Permohonan abolisi dapat didasarkan pada argumen bahwa tindakan Adam Rahayaan tidak pantas dikualifikasi sebagai tindak pidana, karena:

Dilakukan untuk kemaslahatan rakyat, Tidak bertujuan memperkaya diri. Kerugian negara terjadi bukan karena kejahatan, melainkan karena niat baik yang tidak sejalan dengan prosedur administratif. (***)

Views: 8
Facebook
WhatsApp
Email